1.Latarbelakang
Demokrasi
Demokrasi merupakan suatu sistem untuk mengatur tata
tertib masyarakat
dan
juga mengadakan perubahan masyarakat, menentukan corak kebudayaan sendiri,
kebebasan, berkumpul, menentukan kebebasan bergerak, menyatakan pendapat dan
tulisan, menganut agama dan kepercayaan dan keyakinan masingmasing. Teorisasi
demokrasi melahirkan dua pendekatan yang lazim digunakan apabila hendak
menjelaskan konsep demokrasi, yaitu pendekatan klasik normative yang juga
dikenal dengan pendekatan substantif dan pendekatan empiris minimalis atau juga
dikenal dengan pendekatan prosedural1. Dalam ilmu politik, dikenal dua macam
pemahaman tentang demokrasi; pemahaman secara normatif dan pemahaman secara
empirik. Untuk pemahaman yang terakhir ini disebut juga sebagai Procedural
Democracy2.
Pendekatan klasik normatif memahami demokrasi
sebagai sumber wewenang dan tujuan (resep bagaimana demokrasi itu seharusnya),
sementara pendekatan empiris minimalis lebih menekankan pada sistem politik
yang dibangun (deskripsi tentang apa demokrasi itu sekarang). Pendekatan klasik
normatif lebih banyak membicarakan ide-ide dan model-model demokrasi secara
substantif dan umumnya mendefinisikan demokrasi dengan istilah-istilah kehendak
rakyat sebagai sumber alat untuk mencapai kebaikan bersama3.
Pada umumnya pendefinisian demokrasi diletakkan pada
dasar sebuah pemerintahan dari rakyat, bukannya dari pada Aristokrat, kaum
Monarki, Birokrat, para ahli ataupun para pemimpin agama, oleh rakyat dan untuk
rakyat.4 Perkembangan selanjutnya demokrasi ditandai dengan lahirnya Magna Carta
(Piagam Besar) pada 15 juni 1215. Magna Carta merupakan semacam kontrak antara
beberapa bangsawan dan Raja Jhon dari Inggris dimana untuk pertama kalinya
seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin
beberapa hak dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi
keperluan perang dan sebagainya5. Magna Carta memiliki dua pesan yang
berjangkauan luas; pertama, bahwa kekuasaan pemerintahan adalah terbatas; dan kedua,
bahwa hak asasi manusia lebih tinggi dari kekuasaan raja6. Rene Descartes
(1596-1650) melalui ucapannya Cogito Ergo Sum (saya berfikir maka saya ada)
mengilhami lahirnya gagasan nilai-nilai kebebasan manusia. Gagasan tersebut
memberikan ruang leluasa bagi pengembangan demokrasi. Karya-karya yang
menyuarakan kebebasan pada gilirannya bertebaran pada masa itu, semisal karya
Jhon Locke (1632-1704), Charles de Secondat Montesquieu (1689-1755) dan Jean
Jacques Rousseau (1712-1778), yang kesemuanya memiliki tujuan tunggal yakni
bagaimana membangun struktur politik yang serasional mungkin7.
John Locke melalui karyanya ”Two Treatis of
Government” menyatakan struktur politik seharusnya didasarkan pada
persamaan penuh dan kebebasan
dibatasi
hanya karena harus menghormati satu sama lain dalam kerangka hidup bersama dan
damai. Implementasi kekuasaan dijalankan dalam lembaga yang terpisah
kewenangannya. Lembaga legislatif membuat hukum sedangkan lembaga eksekutif
yang menjalankan hukum serta bertanggung jawab pada monarki dan pemerintahannya.8
Negara memiliki kekuasaan namun dibatasi oleh hak alamiah yang dimiliki oleh
manusia sejak lahir, yaitu hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan dan hak atas
milik pribadi9. Karya Locke sangat berpengaruh pada perkembangan politik selanjutnya.
Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, atas kebebasan dan
hak untuk mempunyai hak milik (Life, Liberty, and Property)10.
Undang-Undang Dasar adalah sumber utama dari
norma-norma hukum tata negara serta mengatur bentuk dan susunan negara,
alat-alat perlengkapannya di pusat dan di daerah, mengatur tugas-tugas alat
perlengkapan itu serta hubungannya satu sama lain.11 Undang-Undang Dasar
sesuatu negara, akan diketahui bentuk dan susunan negara itu, misalnya bahwa
bentuk negara Republik Indonesia adalah ”republik” dengan susunan ”kesatuan”,
bukan susunan negara ”serikat” (federasi).12 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
menghasilkan alat-alat perlengkapan negara yang baru seperti Dewan Perwakilan
Daerah, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).
2. Tujuan Demokrasi
Salah satu tujuan Demokrasi adalah menciptakan kedaulatan
negara kepada rakyat yang bertujuan menciptakan pemerintahan yang legal dan di
kehendaki oleh rakyat,
Demokrasi hanya menjamin kebebasan politik yaitu kebebasan mengeluarkanpendapat
dan politik.Tujuan kita berbangsa dan bernegara adalahmenciptakan masyarakat
yang adil dan makmur, sehingga negra ini dapat terpimpin dan tidak ada lagi
perselisihan antar bangsa, karna walaupun berbeda suku namun tetap masih satu
bangsa dan satu negara yaitu negara indonesia, oleh karena itu tujuan
demokrasi tidak lain dalah memberika kebebsa bagi rakyat untuk memilih dan
mengemukakakn pendapatnya dalam bermusyawarah, sehingga sutu keputusan harus di
putuskan secara adil agar tidak ada pihak yang merasa di rugikan , sehingga
Demikrasi dapat berjalan sampai generasi penerus bangsa , Demokrasi sangatlah
penting untuk mencegah terjadinya perselisihan antar bangsa
3. Konsep
Demokrasi
Demokrasi
adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal
dari rakyat, baik secara langsung atau melalui perwakilan. Istilah demokrasi
berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti “rakyat” dan “kratos”
yang berarti kekuasaan. Istilah demokrasi pertama kali diperkenalkan oleh
Aristosteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang
menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham
Lincoln dalam pidato Gettysburg nya mendefiniskan demokrasi sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam hal ini berarti
bahwa kekuasaan tertinggi pemerintahan dipegang oleh rakyat.
4. Prinsip-prinsip Demokrasi
Prinsip demokrasi dan prasyarat berdirinya negara demokrasi
telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Repulik Indonesia.
Prinsip-prinsip demokrasi dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian
dikenal dengan “soko guru demokrasi”. Menurut Almadudi, prinsip demokrasi
adalah :
- Kedaulatan
rakyat.
- Pemerintahan
berdasarkan persetujuan dari yang diperintah.
- Kekuasaan
Mayoritas.
- Hak-hak
minoritas.
- Jaminan
Hak Asasi Manusia (HAM).
- Pemilihan
yang adil, bebas, dan jujur.
- Persamaan
di depan hukum.
- Proses
hukum yang wajar.
- Pembatasan
pemerintah secara kontitusional.
- Pluralisme
ekonomi, politik, dan sosial.
- Nilai-nilai
toleransi, pragtisme, kerja sama, dan mufakat.
5. Bentuk bentuk Demokrasi Modern
Ada
tiga bentuk demokrasi modern yang bisa dianut oleh negara negara di dunia pada
saat ini, yaitu sebagai berikut.
5.1 Demokrasi
Sistem Parlementer
Dalam
sistem parlementer hubungan antara eksekutif (pemerintah) dan badan legislatif
(badan perwakilan rakyat) sangat erat. Kekuasaan eksekutif diserahkan kepada
suatu badan yaitu kabinet/dewan menteri. Menteri menteri baik secara perorangan
maupun secara bersama sama sebagai kabinet (dewan menteri) mempertanggung
jawabkan segala kebijakan pemerintahanya kepada parlemen. Apabila pertanggung
jawaban menetri atau dewan menteri ditolak parlemen, maka menteri yang
bersangkutan atau para menteri (kabinet) tersebut harus mengundurkan diri. Hal
ini sering disebut krisis kabinet. Apabila terjadi perselisihan antara kabinet
dengan parlemen dan kepala negara beranggapan kabinet dalam pihak yang benar
maka kepala negara akan membubarkan parlemen. Kelebihan dari sistem ini adalah
rakyat dapat menjalankan fungsi pengawasan dan berperan dalam penyelnggaraan
negara.
5.2 Demokrasi
Sistem Pemisah Kekuasaan
Dalam
sistem pemisahan kekuasaan ini, hubungan antara badan eksekutif dengan badan
legislatif tidak ada karena terdapat pemisahan yang tegas antara kekuasaan
eksekutif (pemerintah) dan legislatif (badan perwakilan rakyat). Hal ini sesuai
dengan ajaran Trias Politika, Kekuasaan negara itu dipisahkan menjadi tiga
macam , yaitu sebgai berikut.
1)
Kekuasaan legislatif: kekuasaan membuat undang undang.
2)
kekuasaan Eksekutif: Kekuasaan menjalankan undang undang
3)
Kekuasaan yudikatif: kekuasaan mengawasi jalanya undang undang
Menurut
sistem pemisahan kekuasaan, lembaga eksekutif (pemerintah) terdiri atas
presiden sebagai kepala pemerintahan dibantu oleh para menteri, menteri menteri
diangkat da bertanggung jawab kepada presiden. Sistem seperti ini disebut
sistem Presidensial.
Kelebihan
dari sistem ini adalah sebagai berikut.
1)
Ada kestabilan pemerintah
2)
Pemerintah tidak dapat dijatuhkan oleh Badan Perwakilan Rakyat (parlemen)
3)
Program-program pemerintah dapat terlaksana karena ada kestabilan pemerintahan.
Sementara
itu, kelemahan dalam sistem ini antara lain lemahnya pngawasan dari rakyat dan
mendorong pemusatan kekuaaan di tangan presiden.
5.3 Demokrasi
Sistem Referendum (Pengawasan Langusng oleh Rakyat)
Demokrasi dengan sistem
referendum, tugas badan perwakilan rakyat selalu diawasi oleh rakyat yaitu
dalam bentuk referendum. Apa yang
dimaksud dengan referendum ? Refendum yaitu pemungutan suara
langsung oleh rakyat tanpa melalui badan legislatif.
Ada
dua macam Referendum, yaitu sebagai berikut.
1)
Referendum Obligatoire (referendum Wajib)
Referendum Obligatoire Adalah
referendum yang menentukan berlakunya suatu undang undang. Undang undang baru
berlaku bilas mendapat persetujuan rakyat melalui referendum
2)
Referendum Fakultatif (referendu Tidak wajib)
Referendum Fakultatif Adalah referendum yang menentukan
apakah suatu undang undang yang sedang berlaku dapat terus dipergunakan atau
tidak atau perlu tidaknya perubahan perubahan.
- Kelebihan sistem Referendum, adalah sebagai
berikut.
1) Tidak semua rakyat punya pengetahuan
tentang undang undang yang baik.
2)
pembuatan undang undang menjadi lebih lambat/lama
- Kelemahan Dalam sistem ini adalah sebagai
berikut.
1) Tidak semua rakyat mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang UU yang baik.
2)
Pembuatan UU mejadi lambat.
6. Bentuk Demokrasi Berdasarkan Penyaluran
Kehendak Rakyat
berdasarkan
penyaluran kehendak rakyat demokrasi dibedakan menjadi demokrasi langsung
dan tidak langsung.
6.1 Demokrasi
Langsung
Apa yang dimaksud dengan Demokrasi Langsung ?
Demokrasi langsung yaitu demokrasi yang mengikutsertakan setiap warga negaranya
dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijaksanaan umum negara atau undang
undang. Dalam demokrasi langsung ini, rakyat secara langsung menyampaikan
aspirasinya dengan bermusyawarah dalam rapat. Dalam semokrasi langsung,
segala aspirasi rakyat dapat diputuskanoleh rakyat. Pada zaman modern sekarang,
mengingat jumlah penduduk makin banyak, maka tidaklah mungkin dapat
dilaksanakan demokrasi secara langsung seperti zaman yunani Kuno. Pelaksanaan
demokrasi yang tepat untuk saat ini adalah demokrasi perwakilan.
Pelaksanaan
demokrasi di setiap negara banyak dipergunakan disetiap negara banyak
dipengaruhi oleh faktor faktor seperti: Sejarah, Kebudayaan, Dasar negara, dan
latar belakang lainya.
6.2 Demokrasi
Tidak Langsung
Apa yang dimaksud dengan Demokrasi tidak langsung ?
Demokrasi tak langsung yaitu paham demokrasi yang dilaksanakan melalui sistem
perwakilan. Rakyat menyerahkan aspirasinya kepada suatu badan yang mewakilinya.
Demokrasi tidak langsung/perwakilan biasanya dilaksanakan melalui pemilihan
umum.
Dalam
negara modern seperti sekarang di mana jumlah penduduknya sudah banyak,
wilayahnya cukup luas, tidak mungkin meminta pendapat rakyat seorang demi
seorang dalam menjalankan roda pemerintahan. Apalagi masyarakat mempunyai
kesibukan sendiri sendiri serta tingkat kepandaian orang berbeda, menyebabkan
kedaulatan rakyat tidak mungkin dapat dilakukan secara murni dan keadaan
menghendaki bahwa kedaulatan takyat itu dilaksanakan dengan perwakilan
langsung.
Kedaulatan
rakyat dengan perwakilan atau demokrasi dengan perwakilan/tidak langsung yang
menjalankan kedaulatan itu adalah wakil wakil rakyat. Wakil wakil rakyat
bertindak atas nama rakyat dan menentukan corak dan cara pemerintah serta
tujuan yang hendak dicapai. Agar wakil wakil tersebut benar benar dapat bertindak
atas nama rakyat, maka wakil wakil itu ditentukan sendiri oleh rakyat. Untuk
menentukannya dapat melalui pemilu.
Jadi
Pemilu adalah cara untuk
memilih wakil rakyat. Bagi suatu negara yang menyebut dirinya negara demokrasi,
pemilu itu harus dilaksanakan dalam waktu tertentu.
Pemilu
merupakan salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipil, karenanya
adalah suatu keharusan untuk melaksanakanya. Bagi negara demokrasi, pemilu
adalah syarat mutlak untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
Usaha untuk membatasi kekuasaan kekuasaan agar tidak menjurus ke arah kekusaan
absolut telah menghasilkan ajaran Rule of Law (kedaulatan hukum). Ajaran ini
menegaskan bahwa yang berdaulat daam suatu negara adalah hukum. Semua orang
baik rakyat biasa maupun penguasa harus tunduk pada hukum. Diberlakukannya
ajaran ini guna menghindarkan tindakan sewenang wenang penguasa terhadap
rakyat. dengan kata lain hak hak rakyat akan terlindungi.
Adapun
Unsur unsur Rule of Law adalah sebagai berikut.
1)
Berlakunya supremasi hukum (hukum menempati kedaulatan tertinggi, semua orang
tunduk padanya) dan tidak kesewenang wenangan.
2) Perlakuan yang sama di depan hukum bagi setiap warga negara.
3)
Terlindunginya hak hak manusia oleh UU serta keputusan keputusan pengadilan.
Syarat
syarat pemerintah demokrasi dibawah Rule of Law adalah adanya hak hak sebagai
berikut.
1)
perlindungan secara konstitusional atas hak hak warga negara.
2)
Badan kehakiman atau peradilan
3)
Pemilihan umum yang bebas
4)
Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5)
Kebebasan untuk berorganisai dan beroposisi
6)
Adanya pendidikan kewarganegaraan.
Keenam
syarat tersebut harus dipenuhi dalam pemerintahan yang demokratis. Jika tidak,
apalagi terdapat praktik praktik yang bertentangan dengan keenam prinsip
tersebut, maka sistem pemerintahan itu kurang layak disebut pemerintahan yang
demokratis.
BAB II
1.
PENDIDIKAN PENDAHULUAN BELA NEGARA DAN RELEVANSINYA DI
ERA REFORMASI
Oleh: Budi S. Satari MA*
Era reformasi membawa banyak perubahan
di hampir segala bidang di Republik Indonesia. Ada perubahan yang positif dan
bermanfaat bagi masyarakat, tapi tampaknya ada juga yang negatif dan pada
gilirannya akan merugikan bagi keutuhan wilayah dan kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Suasana keterbukaan pasca pemerintahan Orde Baru
menyebabkan arus informasi dari segala penjuru dunia seolah tidak terbendung.
Berbagai ideologi, mulai dari ekstrim kiri sampai ke ekstrim kanan, menarik
perhatian bangsa kita, khususnya generasi muda, untuk dipelajari, dipahami dan
diterapkan dalam upaya mencari jati diri bangsa setelah selama lebih dari 30
tahun merasa terbelenggu oleh sistem pemerintahan yang otoriter.
Salah satu dampak buruk dari reformasi
adalah memudarnya semangat nasionalisme dan kecintaan pada negara. Perbedaan
pendapat antar golongan atau ketidaksetujuan dengan kebijakan pemerintah adalah
suatu hal yang wajar dalam suatu sistem politik yang demokratis. Namun berbagai
tindakan anarkis, konflik SARA dan separatisme yang sering terjadi dengan mengatas
namakan demokrasi menimbulkan kesan bahwa tidak ada lagi semangat kebersamaan
sebagai suatu bangsa. Kepentingan kelompok, bahkan kepentingan pribadi, telah
menjadi tujuan utama. Semangat untuk membela negara seolah telah memudar.
Bela Negara biasanya selalu dikaitkan
dengan militer atau militerisme, seolah-olah kewajiban dan tanggung jawab untuk
membela negara hanya terletak pada Tentara Nasional Indonesia. Padahal
berdasarkan Pasal 30 UUD 1945, bela negara merupakan hak dan kewajiban setiap
warga negara Republik Indonesia. Bela negara adalah upaya setiap warga negara
untuk mempertahankan Republik
Indonesia terhadap ancaman baik dari
luar maupun dalam negeri.
UU no 3 tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara RI mengatur tata cara penyelenggaraan pertahanan negara yang dilakukan
oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun oleh seluruh komponen bangsa.
Upaya melibatkan seluruh komponen bangsa dalam penyelenggaraan pertahanan
negara itu antara
lain dilakukan melalui Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara. Di dalam masa transisi menuju masyarakat madani sesuai
tuntutan reformasi, tentu timbul pertanyaan apakah Pendidikan Pendahuluan Bela
Negara masih relevan dan masih dibutuhkan. Makalah ini akan mencoba membahas
tentang relevansi Pendidikan Pendahuluan Bela Negara di era reformasi dan dalam
rangka menghadapi era globalisasi abad ke 21.
1.1 Hakekat Ancaman
Terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia
Ancaman Dari Luar
Dengan berakhirnya Perang Dingin pada
awal tahun 1990an, maka ketegangan regional di dunia umumnya, dan di kawasan
Asia Tenggara khususnya dapat dikatakan berkurang. Meskipun masih terdapat
potensi konflik khususnya di wilayah Laut Cina Selatan, misalnya sengketa
Kepulauan Spratly yang melibatkan beberapa negara di kawasan ini, masalah Timor
Timur yang menyebabkan ketegangan antara Indonesia dan Australia, dan sengketa
Pulau Sipadan/Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, namun diperkirakan semua
pihak yang terkait tidak akan menyelesaikan masalah tersebut melalui kekerasan
bersenjata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam jangka waktu pendek
ancaman dalam bentuk agresi dari luar relatif kecil. Potensi ancaman dari luar
tampaknya akan lebih berbentuk upaya menghancurkan moral dan budaya bangsa
melalui disinformasi, propaganda, peredaran narkotika dan obat-obat terlarang,
film-film porno atau berbagai kegiatan kebudayaan asing yang mempengaruhi
bangsa Indonesia terutama generasi muda, yang pada gilirannya dapat merusak
budaya bangsa. Potensi ancaman dari luar lainnya adalah dalam bentuk
"penjarahan" sumber daya alam Indonesia melalui eksploitasi sumber
daya alam yang tidak terkontrol yang pada gilirannya dapat merusak lingkungan
atau pembagian hasil yang tidak seimbang baik yang dilakukan secara
"legal" maupun yang dilakukan melalui kolusi dengan pejabat
pemerintah terkait sehingga meyebabkan kerugian bagi negara.
Semua potensi ancaman tersebut dapat
diatasi dengan meningkatkan Ketahanan Nasional melalui berbagai cara, antara
lain:
a. Pembekalan mental spiritual di kalangan masyarakat
agar dapat menangkal pengaruh- pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan
norma-norma kehidupan bangsa Indonesia
b. Upaya peningkatan perasaan cinta tanah air
(patriotisme) melalui pemahaman dan penghayatan (bukan sekedar penghafalan)
sejarah perjuangan bangsa.
c. Pengawasan yang ketat terhadap eksploitasi sumber daya
alam nasional serta terciptanya suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa
(legitimate, bebas KKN, dan konsisten melaksanakan peraturan/undang-undang).
d. Kegiatan-kegiatan lain yang bersifat kecintaan
terhadap tanah air serta menanamkan semangat juang untuk membela negara, bangsa
dan tanah air serta mempertahankan Panca Sila sebagai ideologi negara dan UUD 1945
sebagai landasan berbangsa dan bernegara.
e. Untuk
menghadapi potensi agresi bersenjata dari luar, meskipun kemungkinannya relatif
sangat kecil,
selain menggunakan unsur kekuatan TNI, tentu saja dapat menggunakan unsur Rakyat
Terlatih (Ratih) sesuai dengan doktrin Sistem Pertahanan Semesta.
Dengan doktrin Ketahanan Nasional itu,
diharapkan bangsa Indonesia mampu mengidentifikasi berbagai masalah nasional
termasuk ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap keamanan negara
guna menentukan langkah atau tindakan untuk menghadapinya.
1.2 Ancaman Dari
Dalam
Meskipun
tokoh-tokoh LSM banyak yang menyatakan hal ini sebagai sesuatu yang
mengada-ada, pada kenyataannya potensi ancaman yang dihadapi negara
Republik Indonesia tampaknya akan lebih
banyak muncul dari dalam negeri, antara lain dalam bentuk:
a. disintegrasi bangsa, melalui gerakan-gerakan separatis
berdasarkan sentimen kesukuan atau pemberontakan akibat ketidakpuasan daerah
terhadap kebijakan pemerintah pusat
b. keresahan sosial akibat ketimpangan kebijakan ekonomi
dan pelanggaran Hak Azasi Manusia yang pada gilirannya dapat menyebabkan
huru-hara/kerusuhan massa
c. upaya penggantian ideologi Panca Sila dengan ideologi
lain yang ekstrim atau yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat perjuangan
bangsa Indonesia
d. potensi konflik antar kelompok/golongan baik akibat
perbedaan pendapat dalam masalah politik, maupun akibat masalah SARA e. makar
atau penggulingan pemerintah yang sah dan konstitusional Di masa transisi ke
arah demokratisasi sesuai dengan tuntutan reformasi saat ini, potensi konflik
antar kelompok/golongan dalam masyarakat sangatlah besar. perbedaan pendapat
yang justru adalah esensi dari demokrasi malah merupakan potensi konflik yang
serius apabila salah satu pihak berkeras dalam mempertahankan pendiriannya
sementara pihak yang lain berkeras memaksakan kehendaknya. Dalam hal ini,
sebenarnya cara yang terbaik untuk mengatasi perbedaan pendapat adalah
musyawarah untuk mufakat. Namun cara yang sesungguhnya merupakan ciri khas
budaya bangsa Indonesia itu tampaknya sudah dianggap kuno atau tidak sesuai
lagi di era reformasi ini.
Masalahnya,
cara pengambilan suara terbanyakpun (yang dianggap sebagai cara yang paling
demokratis dalam menyelesaikan perbedaan pendapat) seringkali menimbulkan rasa
tidak puas bagi pihak yang "kalah", sehingga mereka memilih cara
pengerahan massa atau melakukan tindak kekerasan untuk memaksakan kehendaknya.
Tidak adanya kesadaran hukum di sebagian kalangan masyarakat serta ketidak
pastian hukum akibat campur tangan pemerintah dalam sistem peradilan juga
merupakan potensi ancaman bagi keamanan dalam negeri. Apalagi di masa transisi
saat ini ada kelompok/golongan yang secara terbuka menyatakan tidak mengakui
Peraturan/perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah transisi yang berkuasa
saat ini. Pelecehan terhadap hukum/undang-undang ini jelas menimbulkan
kekacauan/anarki dan merupakan potensi konflik yang serius.
Contoh yang
paling nyata adalah insiden Semanggi di mana para pengunjuk rasa yang
jelas-jelas tidak mematuhi UU no 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum akhirnya bentrok dengan aparat keamanan yang justru ingin
menegakkan hukum. Terlepas dari berbagai faktor psikologis dan politis yang
memicu terjadinya insiden tersebut, kenyataannya adalah seandainya semua pihak
menyadari pentingnya kepatuhan terhadap hukum, tentunya insiden itu tidak akan
terjadi. Keragu-raguan aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan maupun
pengadilan) dalam menangani berbagai tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat
tinggi negara juga potensial untuk menyulut huru-hara akibat kekecewaan
masyarakat. Tidak adanya kesadaran hukum, di samping aspek sosial-psikologis
yang perlu diteliti lebih lanjut dan dicarikan penyelesaiannya, juga
menyebabkan sering timbulnya tawuran antar warga atau tawuran antar pelajar
yang pada gilirannya menimbulkan keresahan masyarakat dan menyebabkan
instabilitas keamanan lingkungan.Maka, sosialisasi berbagai peraturan dan
perundang-undangan serta penegakan hukum yang tegas, adil dan tanpa pandang
bulu adalah satu-satunya jalan untuk mengatasi potensi konflik ini. Potensi
ancaman dari dalam negeri ini perlu mendapat perhatian yang serius mengingat
instabilitas internal seringkali mengundang campur tangan pihak asing, baik
secara langsung maupun tidak langsung, untuk kepentingan mereka.
1.3 Memudarnya
Nasionalisme dan Kecintaan Pada Bangsa dan Tanah Air
Sebagai produk
dari faktor politik, ekonomi, sosial dan intelektual pada suatu tahapan
sejarah, nasionalisme adalah "suatu kondisi pikiran, perasaan atau
keyakinan sekelompok manusia pada suatu wilayah geografis tertentu, yang
berbicara dalam bahasa yang sama, memiliki kesusasteraan yang mencerminkan
aspirasi bangsanya, terlekat pada adat dan tradisi bersama, memuja pahlawan
mereka sendiri dan dalam kasus-kasus tertentu menganut agama yang sama"
Nasionalisme
adalah produk langsung dari konsep bangsa. Ia merujuk kepada perasaan
"kasih sayang" pada satu sama lain yang dimiliki oleh anggota bangsa
itu dan rasa kebanggaan yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri. Dia adalah
semangat kebersamaan yang bertujuan memelihara kesamaan pandangan, kesamaan
masyarakat dan kesamaan bangsa dalam suatu kelompok orang-orang tertentu. Dia
adalah suatu idelogi abstrak yang mengakui kebutuhan akan suatu pengalaman bersama,
kebudayaan bersama, dasar sejarah, bahasa bersama dan lingkungan politik yang
homogen. Nasionalisme dapat diungkapkan dengan berbagai cara, misalnya
keinginan untuk mencapai taraf kehidupan yang tinggi, keinginan untuk
memenangkan medali emas lebih banyak dari negara lain dalam Olympiade, atau
bahkan menundukkan wilayah lain yang berbatasan.
Akhir-akhir ini ditengarai bahwa
semangat nasionalisme dan patriotisme, khususnya di kalangan generasi muda
Indonesia telah memudar.
Beberapa indikasi antara lain adalah
munculnya semangat kedaerahan seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah;
ketidakpedulian terhadap bendera dan lagu kebangsaan; kurangnya apresiasi
terhadap kebudayaan dan kesenian daerah; konflik antar etnis yang mengakibatkan
pertumpahan darah.
Ketidak mampuan
pemerintah pasca Orde Baru untuk mengatasi krisis multidimensional sering
dijadikan "kambing hitam" penyebab memudarnya nasionalisme. Banyak
orang yang tidak merasa bangga menjadi orang Indonesia akibat citra buruk di
dunia internasional sebagai "sarang koruptor" dan "sarang
teroris". Banyak orang yang enggan membela negara dengan alasan "saya
dapat dari negara?" Presiden John F. Kennedy dari Amerika Serikat pernah
mengatakan, "don't ask what your country can do for you, ask what can you
do for your country!" (jangan tanyakan apa yang dapat dilakukan oleh
negaramu untukmu, tapi tanyakan apa yang dapat kamu lakukan untuk negaramu!)
Semangat seperti itu seharusnya juga berlaku bagi semua warga negara Indonesia.
Ada semacam kekeliruan pandangan bahwa negara identik dengan pemerintah. Setiap
warga negara boleh saja tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, tapi dia
tetap berhak dan wajib membela negaranya.
Memudarnya
nasionalisme dan patriotisme mungkin juga disebabkan oleh tiadanya penghayatan atas
arti perjuangan para pahlawan kemerdekaan. Perayaan hari Kemerdekaan setiap
tanggal 17 Agustus selama berpuluh tahun terkesan hanya sebagai ritual upacara
bendera yang membosankan. Tradisi "hura-hura" lomba makan krupuk dan
panjat pinang, panggung hiburan yang dari tahun ke tahun hanya diisi oleh vocal
group remaja setempat di setiap RT di seluruh tanah air dan gapura yang
mencantumkan slogan-slogan kosong di setiap ujung gang. Yang lebih
memprihatinkan, di tengah krisis ekonomi yang berlarut-larut ini, hari
Kemerdekaan dirayakan dengan kembang api. Betapa tidak nasionalis dan tidak
patriotisnya, membakar uang puluhan juta rupiah sementara sebagian besar rakyat
tengah menderita. Sedikit sekali kelompok masyarakat yang merayakan hari
Kemerdekaan dengan acara syukuran dan do'a bersama mengingat jasa para pahlawan
yang telah mengorbankan nyawa mereka untuk mencapai kemerdekaan ini.
Demikian pula
Sumpah Pemuda, yang sebenarnya adalah modal awal persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia jauh sebelum kemerdekaan, kini seolah hanya merupakan pelajaran
sejarah yang tidak pernah dihayati dan diamalkan. Munculnya gerakan separatisme
dan konflik antar etnis membuktikan
tidak adanya
kesadaran bahwa kita adalah satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Harus
diakui bahwa ada faktor-faktor politis, ekonomi dan psikologis yang menyebabkan
gerakan-gerakan separatis maupun konflik antar etnis itu, misalnya masalah
ketidak adilan sosial dan ekonomi, persaingan antar kelompok dan sebagainya.
Kurang tanggapnya pemerintah baik di pusat maupun daerah untuk mengantisipasi
atau segera menangani berbagai permasalahan itu menyebabkan tereskalasinya
suatu masalah kecil menjadi konflik yang berkepanjangan.
2.
Bela Negara Sebagai Hak dan Kewajiban
Warga Negara
2.1 Konsep Bela
Negara
Pasal 30 UUD
1945 menyebutkan bahwa "tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam usaha pembelaan negara". Konsep Bela Negara dapat diuraikan yaitu
secara fisik maupun non-fisik. Secara fisik yaitu dengan cara "memanggul
bedil" menghadapi serangan atau agresi musuh. Bela Negara secara fisik
dilakukan untuk menghadapi ancaman dari luar. Sedangkan Bela Negara secara
non-fisik dapat didefinisikan sebagai "segala upaya untuk mempertahankan
negara kesatuan Republik Indonesia dengan cara meningkatkan kesadaran berbangsa
dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap tanah air serta berperan aktif
dalam memajukan bangsa dan negara".
2.2 Bela Negara
Secara Fisik
Keterlibatan
warga negara sipil dalam upaya pertahanan negara merupakan hak dan kewajiban
konstitusional setiap warga negara Republik Indonesia. Tapi, seperti diatur
dalam UU no 3 tahun 2002 dan sesuai dengan doktrin Sistem Pertahanan Semesta,
maka pelaksanaannya dilakukan oleh Rakyat Terlatih (Ratih) yang terdiri dari
berbagai unsur misalnya Resimen Mahasiswa, Perlawanan Rakyat, Pertahanan Sipil,
Mitra Babinsa, OKP yang telah mengikuti Pendidikan Dasar Militer dan lainnya.
Rakyat Terlatih mempunyai empat fungsi yaitu Ketertiban Umum, Perlindungan
Masyarakat, Keamanan Rakyat dan Perlawanan Rakyat. Tiga fungsi yang disebut
pertama umumnya dilakukan pada masa damai atau pada saat terjadinya bencana
alam atau darurat sipil, di mana unsur-unsur Rakyat Terlatih membantu
pemerintah daerah dalam menangani Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, sementara
fungsi Perlawanan Rakyat dilakukan dalam keadaan darurat perang di mana Rakyat
Terlatih merupakan unsur bantuan tempur bagi pasukan reguler TNI dan terlibat
langsung di medan perang.
Apabila keadaan
ekonomi nasional telah pulih dan keuangan negara memungkinkan, maka dapat pula
dipertimbangkan kemungkinan untuk mengadakan Wajib Militer bagi warga negara
yang memenuhi syarat seperti yang dilakukan di banyak negara maju di Barat.
Mereka yang telah mengikuti pendidikan dasar militer akan dijadikan Cadangan
Tentara Nasional Indonesia selama waktu tertentu, dengan masa dinas misalnya
sebulan dalam setahun untuk mengikuti latihan atau kursus-kursus penyegaran.
Dalam keadaan darurat
perang, mereka dapat dimobilisasi dalam
waktu singkat untuk tugas-tugas tempur maupun tugas-tugas teritorial. Rekrutmen
dilakukan secara selektif, teratur dan berkesinambungan. Penempatan tugas dapat
disesuaikan dengan latar belakang pendidikan atau profesi mereka dalam
kehidupan sipil misalnya dokter ditempatkan di Rumah Sakit Tentara, pengacara
di Dinas Hukum, akuntan di Bagian Keuangan, penerbang di Skwadron Angkutan, dan
sebagainya. Gagasan ini bukanlah dimaksudkan sebagai upaya militerisasi
masyarakat sipil, tapi memperkenalkan "dwi-fungsi sipil". Maksudnya
sebagai upaya sosialisasi "konsep bela negara" di mana tugas
pertahanan keamanan negara bukanlah semata-mata tanggung jawab TNI, tapi adalah
hak dan kewajiban seluruh warga negara Republik Indonesia.
2.3 Bela Negara
Secara Non-Fisik
Di masa
transisi menuju masyarakat madani sesuai tuntutan reformasi saat ini, justru
kesadaran bela negara ini perlu ditanamkan guna menangkal berbagai potensi
ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik dari luar maupun dari dalam
seperti yang telah diuraikan di atas. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya,
bela negara tidak selalu harus berarti "memanggul bedil menghadapi
musuh". Keterlibatan warga negara sipil dalam bela negara secara non-fisik
dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, sepanjang masa dan dalam segala
situasi, misalnya dengan cara:
a. meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara,
termasuk menghayati arti demokrasi dengan menghargai perbedaan pendapat dan
tidak memaksakan kehendak
b. menanamkan kecintaan terhadap tanah air, melalui
pengabdian yang tulus kepada masyarakat
c. berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara
dengan berkarya nyata (bukan retorika)
d. meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap
hukum/undang-undang dan menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia
e. pembekalan mental spiritual di kalangan masyarakat
agar dapat menangkal pengaruh- pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan
norma-norma kehidupan bangsa Indonesia dengan lebih bertaqwa kepada Allah swt
melalui ibadah sesuai agama/kepercayaan masing- masing
Apabila seluruh komponen bangsa
berpartisipasi aktif dalam melakukan bela negara secara non-fisik ini, maka
berbagai potensi konflik yang pada gilirannya merupakan ancaman, gangguan,
hambatan dan tantangan bagi keamanan negara dan bangsa kiranya akan dapat
dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali. Kegiatan bela negara secara
non-fisik sebagai upaya peningkatan Ketahanan Nasional juga sangat penting
untuk menangkal pengaruh budaya asing di era globalisasi abad ke 21 di mana
arus informasi (atau disinformasi) dan propaganda dari luar akan sulit
dibendung akibat semakin canggihnya teknologi komunikasi.
2.4 PENUTUP
Dari uraian
yang telah dikemukakan di atas, jelaslah potensi ancaman terhadap keamanan
negara bisa datang dari luar maupun dalam negeri. Namun potensi ancaman yang
lebih besar adalah yang dari dalam negeri, terutama di masa transisi menuju
masyarakat madani sesuai dengan tuntutan reformasi. Lebih jauh lagi, pengalaman
menunjukkan bahwa instabilitas dalam negeri seringkali mengundang campur tangan
asing baik secara langsung maupun tidak langsung.
Mengingat
kesadaran bela negara yang masih rendah di kalanganmasyarakat kita, terutama di
kalangan elite (politik dan ekonomi) serta kaum intelektual/akademisi, dapat
dikatakan bahwa Pendidikan Pendahuluan Bela Negara untuk menanamkam kesadaran
bela negara masih sangat relevan dan masih sangat dibutuhkan di era reformasi
saat ini dan di masa mendatang. Namun perlu dicarikan format yang lebih
efektif, lebih sesuai dengan kondisi masyarakat dan lebih bersifat konkrit dan
realistis agar tidak terkesan sebagai suatu kegiatan indoktrinasi teori yang
bersifat abstrak dan membosankan. Pendidikan Pendahuluan Bela Negara untuk
masyarakat umum akan sangat bermanfaat, khususnya dalam upaya menanamkan
kesadaran akan hak dan kewajiban konstistusional sebagai warga negara untuk
mempertahankan negara
kesatuan
Republik Indonesia. Materi yang diajarkan dapat ditingkatkan kualitasnya, namun
mengingat latar belakang pendidikan formal peserta yang cukup beragam mungkin
perlu dilakukan penyesuaian atau modifikasi. Selain itu, perlu dipertimbangkan
untuk melibatkan lebih banyak peserta dari kalangan elite (politik dan ekonomi)
yang tampaknya kurang memiliki kesadaran bela negara akibat terlalu sibuk
membela kepentingan pribadi/golongannya. Pendidikan kewiraan di tingkat
perguruan tinggi, yang juga merupakan salah satu bentuk dari Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara, kiranya juga masih relevan dan diperlukan meskipun
materinya tentu saja perlu disesuaikan seiring dengan perubahan situasi politik
yang sedang terjadi dewasa ini.